Genap sudah 700 hari sejak pertama saya memiliki permainan papan.
Pada 11 Maret 2022, di tengah kegamangan pagebluk, saya memesan “Exploding Kitten”, sebuah board game berisikan kartu-kartu bergambar anak kucing—yang meledak. Dorongan dan motif rasional yang menuntun saya melakukan transaksi tersebut agaknya sedikit terlupa. Alih-alih, yang lekat di ingatan adalah perasaan penuh penantian dan kekaguman ketika lapis demi lapis plastik dicabik, menyibak sebuah kotak kecil berisi tumpukan kartu yang begitu halus, begitu apik, begitu bercerita dan penuh kemungkinan. Saya bak bocah lelaki yang kali pertama melihat Gundam (di tengah dunia yang patriarkis dan konsumtif ini).
Ratusan hari dan puluhan permainan setelahnya, saya mencoba merenungkan kembali apa-apa yang telah terjadi. Utamanya, ini menjadi semacam ikhtiar rekonsiliasi dengan diri sendiri akibat tergerusnya identitas lama: menulis esai, berorganisasi, membaca buku serius, berdiskusi, berjejaring dengan aktivis, mereka cipta produk pengetahuan—menjadi saya. Ada bagian dalam nurani yang terusik karena merasa produktivitas kian menurun, daya cipta tak lagi sama. “Main teroossss,” tegur secuil diri saya.
Tak adakah hal baik yang bisa membela hobi boros ini? Tak adakah hikmah yang berani menjustifikasi penelantaran kerja-kerja kolektif ini? Istri saya teguh menenangkan. Bahwa bukanlah sebuah kecacatan bagi seorang insan untuk melakukan yang membahagiakannya.
Maka untuk membangun sendiri jembatan bagi saya mengarungi disonansi diri, saya dedikasikan ruang ini untuk merefleksikan aneka perkara yang berkenaan dengan kegandrungan bermain papan. Kumpulan catatan ini—nantinya—bukan hanya tentang cara bermain, melainkan juga tentang teman baru, kemenangan dan kekalahan, manusia, taktik, bersenang-senang, makan enak, bercerita, ajar dan belajar, penciptaan, furnitur, hingga investasi dan bisnis.
Untuk sementara, saya masih ingin percaya bahwa tak sepenuhnya bermain adalah kemubaziran, kalau bukan kesia-siaan. Pada akhirnya, yang hendak dijawab sederhana saja: seberapa besar hal-hal mesti diseimbangkan supaya berubah diri dan berbahagia tak justru menyengsarakan, supaya bermain tak justru menggandeng rasa bersalah.